Menyedekahkan Hutang Diganti Umroh
Menyedekahkan Hutang Diganti Umroh
Maret 2007, saya sedang BUB (Butuh Uang Banget). Teringat masih punya
piutang yang nyangkut di Ahmad (bukan nama sebenarnya), sahabat karib di
Solo, Jawa Tengah, saya coba menagihnya.
“Mad, maaf nih, sudah ada belum, kebetulan saya lagi butuh,” saya mengirim sms kepadanya.
“Maaf San, belum ada,” jawab Ahmad yang meminjam Rp. 1,5 juta sejak
Desember 2006. Waktu itu Ahmad yang lulusan perguruan tinggi terkenal, masih
BUB untuk keperluan rumah tangganya karena usaha lembaga trainingnya belum menghasilkan.
Pinjaman secara bertahap itu digunakan untuk bayar cicilan rumah,
tagihan listrik dan rekening telepon. Dia janji bila sudah ada uang.
Sampai terpaksa menanyakannya.
“Kalo begitu boleh nggak yang Rp. 1 juta saja yang dikembalikan, saya
sedang butuh uang banget. Yang Rp. 500 ribu saya ikhlasin,” Saya coba
“menawar” ke Ahmad. Tapi rupanya kawan satu ini bener-bener sedang dang hadong hepeng
alias bokek.
“Mohon maaf ya San, lagi nggak ada uang sama sekali, saya
mohon maaf banget’” katanya via sms.
Saya jadi geregetan, antara butuh uang dan butuh nolong temen. Berupaya
menagih hak ketika sedang kepepet, eh malah yang ditagih kelihatannya
jauh lebih kepepet lagi ketimbang saya. Hmmm, gregetan ini musti
dilampiaskan sebagai energy positif.
“Ya sudah Mas,” tulis saya sejurus kemudian, “bismillah saya sudah ikhlaskan uang itu, mohon doakan saya ya, terima kasih. Tentu saja moratorium (pemutihan utang) itu disambut gembira Ahmad.
“Terima kasih ya,” katanya, diiringi doa panjang lebar khusus buat saya.
Dua pecan kemudian ketika saya sedang naik kendaraan umum, ponsel
dikantong bergetar. Nama seorang pimpinan haji dan umrah di layar
ponsel. “Tumben, ada apa nih,” piker saya sambil bergegas meng-answer
panggilan.
“Assalamu’alaikum, Bu Endang,” saya membuka percakapan.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Ada apa Bu, tumben telepon,” kata saya.
“Iya nih, ada perlu. Pak Sani, ada waktu 9 hari nggak untuk mendampingi
jamaah umroh yang berangkat tanggal 7 April. Pak Sani jadi tour leader,”
tutur perempuan energik itu diujung telepon. Spontan, saya menjawab penuh semangat, “Subhanallah, untuk urusan
umroh, saya sangat ada waktunya, Bu,” jawab saya dengan semangat 45.
Deal, saya sibuk memuja-muji asma-Nya dalam hati. Bagaimana tidak. Di
kala kantong kemps, tabungan tandas, eh malah dapat tawaran umroh
gratis. Diamanahi jadi kepala kalifah lagi. Padahal sebelumnya saya sama
sekali belum pernah menginjakkan kaki di Tanah Suci. Kalo teori umroh
dan haji sih sudah hafal, demikian juga mimpi jadi tamu Allah sudah
sering.
Masya Allah, saya baru menyadari, rupanya sedekah Rp. 1,5 juta kepada
teman di Solo itu diganti Allah dengan 10 x lipatnya. Biaya umron waktu
itu sekitar Rp. 15 juta.
Maha benar Allah dengan firmanNya: “Dan jika dalam kesukaran, maka beri tangguhlah sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan itu lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui” (QS Albaqarah 280)
Meski keajaiban sedekah itu bukan pengalaman pertama, namun
kedahsyatan sedekah kali ini saya rasakan sangat luar biasa. Allah
mengabulkan harap saya, rindu saya, mimpi saya, dan seluruh penantian
saya untuk menjenguk Baitullah dan bersimpuh di tempat-tempak yang
makbul untuk berdoa.
Subhanallah, maka dari itu saya semakin meyakini, bahwa rizki itu
ternyata bukan hanya dari gaji. Jika Allah sudah berkehendak maka tidak
perlu korup untuk berharap rezeki, tidak perlu berlaku curang untuk
berharap rizki lebih, bahkan tidak harus bersusah payah untuk pergi ke
Tanah Suci. Allah Yang Maha Menjamin Rizki makhluk Nya.
Allhamdulillah, sampai saat ini, saya sudah empat kali berangkat umroh.
Semuanya tanpa biaya sendiri, bahkan mendapat uang saku sebagai tour
leader dan pembimbing. Alhamdulillah.
Sumber: Buku Donut Kehidupan Ustad Anwar Sani